Archive

Archive for the ‘Namoura Coffee’ Category

The Concept of Luxury from a Consumer Culture Perspective

November 4, 2020 Leave a comment

The luxury market has shown significant global expansion over the past few decades, despite the economic recession and is forecast to exceed $500 billion by 2015. According to Tynan et al. (2009) and Ho et al. (2012) the demand for luxury products is not just limited to European countries and the U.S., but is also incredibly evident in emerging countries such as China, India and the Middle East. According to The Telegraph (2013), Asia will account for more than half of the luxury goods’ market within a decade. Thailand has also experienced a remarkable rise in demand for luxury products. It has been found that the overall demand for luxury products in Thailand has grown by 30 to 40% per year over the past five years and is expected to rise by a further 20 to 40% to reach more than 10 billion baht or around $30 million (Marketeer, 2014).

However, the growth in the global luxury market has heightened competition among luxury brands. The uprising competition is apparent in the development of positioning strategies, whereby luxury brands are trading themselves down in order to meet a broader range of customers, thus making luxuries accessible to the masses. This trend of contemporary luxury consumption is referred to as the democratisation of luxury. Such phenomenon has also altered the traditional view of luxury, given that luxury products are no longer viewed as social and economic status products, priced at a level that only the elite can afford. Instead, luxury is currently associated with more affordable and high-volume goods with a premium image aimed at middle-class customers.

In reality, it can be seen that consumers nowadays might not simply value the traditional view of luxury but prefer associating luxury with personal gratification and experience. Thus, consumers are likely to pursue products and services that offer higher levels of quality, aspiration and taste, but are not too highly priced as to be out of reach. Accordingly, there are many new terms, such as new luxury, premium and masstige, that qualify the term luxury nowadays. In this regard, the concept of luxury has been used in an inflationary manner and can refer to anything ranging from very expensive to affordable products, which are available to everyone. This has created confusion over the term ‘luxury’.

If luxury is taken to refer to everything, then the term luxury would no longer have meaning. It has been argued by Keller (2009) that understanding the concept of luxury dictates a reference to the concept of branding, since luxury represents one of its absolute examples. Furthermore, Heine (2011) suggests that the differentiation between luxury and non-luxury brands cannot be achieved through only evaluating the price of the products, but it should also be determined by the brand’s image and the luxuriousness of the product category with which the brand is associated. Accordingly, this view of luxury tends to be management-oriented, as the main underlying assumption predominates that marketing managers are the ones who can control what should be perceived as luxurious through the creation of branding and pricing strategies. However, it should be noted that different sets of consumers still can perceive things as luxury in different ways, although the brands contain the same creation of luxurious image and pricing. Therefore, in order to consider something as luxury, it should depend upon the interpretation of whether consumers perceive them as luxurious or not. This leads to a focus of attention on research in order to understand the meaning of luxury from a consumer’s perspective.

Tisiruk Potavanich (2015) The Concept of Luxury from a Consumer Culture Perspective

Masker Kopi untuk Kulit Awet Muda

October 15, 2020 Leave a comment

Dalam dunia kecantikan, masker kopi dipercaya memiliki khasiat untuk mengangkat sel kulit mati dan membuat kulit awet muda. Beberapa label produk kecantikan juga turut menjadikan ekstrak kopi bagian dari bahan yang terkandung di dalamnya. Yuk, simak fakta dan penjelasannya berikut ini!

Kopi tidak hanya nikmat untuk dikonsumsi. Bubuk kopi juga dapat diolah menjadi masker kopi untuk kecantikan kulit. Masker adalah paduan bahan yang dioleskan pada permukaan wajah, dibiarkan selama beberapa waktu hingga mengering, untuk kemudian dibilas bersih. Proses mendiamkan ini bertujuan agar bahan aktif dalam masker tersebut meresap ke dalam kulit.

Kandungan Antioksidan dan Kafein Kopi yang Baik Untuk Kulit

Berbagai bahan alami dapat digunakan sebagai paduan masker, mulai dari buah, sayur, hingga biji-bijian, termasuk kopi. Selain aromanya yang menenangkan, biji kopi sendiri adalah bahan yang kaya akan kandungan antioksidan alami bernama quinines, yang akan  menjadi makin aktif setelah dipanggang. Kandungan antioksidan kuat seperti polifenol, asam klorogenik, asam quinic dan asam ferulic yang terkandung dalam ekstrak kopi, terutama kopi arabika, disebut dapat memperbaiki garis-garis halus di wajah, keriput, hingga pigmentasi kulit.

Kopi juga mengandung kafein. Kini kafein semakin banyak digunakan untuk keperluan kosmetik. Kafein banyak digunakan sebagai senyawa aktif dalam produk anti selulit karena mencegah akumulasi lemak berlebihan. Senyawa kafein juga membantu melindungi kulit dari radiasi sinar UV dan memperlambat proses penuaan kulit. Selain itu, produk kecantikan yang mengandung kopi juga dapat meningkatkan produksi kolagen dan peredaran darah di kulit.

Meski manfaat kopi yang dioleskan pada kulit sebagai masker belum terbukti, namun yang pasti antioksidan sendiri sangat dibutuhkan kulit untuk menangkal radikal bebas agar tetap awet muda. Radikal bebas adalah sebutan untuk sel-sel rusak yang dapat menyebabkan kondisi negatif tertentu. Dari luar tubuh, radikal bebas dapat ditimbulkan dari asap rokok dan radiasi sehingga menyebabkan penuaan kulit lebih dini.

Prinsip Penggunaan Masker

Untuk mendapatkan hasil maksimal, penggunaan dan pengaplikasian masker kopi pada wajah juga harus diperhatikan. Perbedaan antara masker wajah dan produk pembersih adalah dalam durasi pemakaiannya. Produk pembersih digunakan dalam waktu lebih cepat dari pada masker. Sementara masker harus didiamkan terlebih dahulu sebelum dibersihkan, agar kandungan masker dapat meresap ke kulit. Sebaiknya, jangan menggunakan masker setiap hari, karena bisa membuat kulit stres dan meningkatkan sensitivitas kulit.

Tips Memilih Masker dengan bahan yang Efektif untuk Kulit

Apapun pilihan masker wajah Anda, termasuk masker kopi, pilihlah masker dengan kandungan bahan yang baik dan sesuai untuk kulit Anda. Terlebih jika Anda memilih untuk menggunakan produk masker dari label kecantikan tertentu. Pastikan produk tersebut mengandung bahan-bahan yang efektif seperti berikut ini:

  • Kandungan emolien atau pelembap, seperti hyaluronic acid, amonium lactate, squalane, ceramides, gliserin, dan dimethicone, yang dapat membantu membangun menjaga kelembapan di kulit.
  • Asam salisilat menurunkan produksi minyak dan membantu mencegah jerawat.
  • Clay. Kandungan ini membuat permukaan kulit terasa lembut setelah pemakaian.

Membuat Masker Kopi Sendiri

Berbagai bahan lain dapat dipadukan ke dalam masker kopi. Yogurt, susu, minyak zaitun, atau madu.

Berikut adalah resep yang dapat Anda coba sendiri di rumah. Bahan-bahan yang perlu dipersiapkan, antara lain:

  • 4 sendok makan bubuk atau biji kopi yang telah dihaluskan.
  • 1 sendok makan gula atau garam.
  • 2 sendok makan susu atau yoghurt tanpa rasa. Anda juga dapat menggunakan  minyak zaitun, atau minyak kelapa asli.

Cara membuatnya pun cukup mudah. Ikuti instruksi di bawah ini.

  • Campurkan semua bahan pada satu wadah.
  • Aduk semua bahan hingga merata. Jika menggunakan biji kopi, pastikan biji kopi sudah tergiling halus.
  • Setelah masker kopi jadi, oleskan pada kulit wajah yang telah dibersihkan.
  • Biarkan mengering.

Untuk membersihkan wajah dari masker, tekan kain basah halus yang sudah direndam dalam air hangat ke wajah Anda hingga masker mengendur dan terlepas. Hindari menggosokkan kain tersebut ke wajah, terutama jika kulit Anda tergolong sensitif.

Meski manfaat kopi untuk kulit belum terbukti kuat secara ilmiah, namun mengingat bahan-bahannya yang alami dan mudah didapat, tidak ada salahnya mencoba masker kopi di atas. Tapi bila ternyata kulit Anda alergi terhadap masker ini, sebaiknya gunakan masker jenis lain.

Sumber:

The Social Life of Coffee: The Emergence of the British Coffeehouse

October 11, 2020 Leave a comment

The Social Life of Coffee: The Emergence of the British Coffeehouse
Brian Cowan
New Haven & London, Yale University Press, 2005, ISBN: 9780300106664; 384pp.; Price: £45.00

As the question of taste increasingly preoccupies social historians, this forms an admirable contribution to a burgeoning set of historical works that explore why and how we alter what we eat and drink. Moreover, the book critically and provocatively addresses the controversial question of the ‘public sphere’, of which the early modern coffeehouse is routinely seen as such an important manifestation. In addition, the author contributes powerfully to ‘commodity chain’ literature, even if his focus is resolutely on the consumption end of the chain, by taking coffee as a means to illuminate many recondite corners of social life. Erudite and persuasively argued, this work is based on a truly impressive range of primary and secondary sources, as demonstrated in the extensive bibliography. However, the author has a certain tendency to weave backwards and forwards in telling his story. This results in a fair amount of repetition, makes the book longer than necessary, and crowds out some topics that could profitably be addressed. In terms of presentation and scholarly apparatus, the well-chosen illustrations are a great boon for the reader, but the use of endnotes rather than footnotes does little credit to Yale University Press, and the index is on the skimpy side.

Some of Cowan’s fiercest critiques are directed at those historians who unproblematically portray coffee as a beverage of the rising bourgeoisie, bearing with it the seeds of liberalism, democracy, and capitalism. According to Cowan, ‘contemporary historians’ have accepted the triumph of coffee much too easily, seeing this as an inevitable victory of the rising forces that championed political participation, social fluidity, commercial expansion, politeness, and ‘modernity,’ that vaguest of concepts. John Brewer, Roy Porter, and Wolfgang Schivelbusch are very much in his line of fire. This is a salutary position to take, for it stands as a strong warning against anachronism and teleology.

As an early modernist, Cowan prefers to see the rise of coffee as a tale firmly anchored in the ancien régime. The success of the drink was uncertain, and still needs to be properly understood and explained, for novelty continued to be looked at askance at this time, and many new products brought back from overseas exploration were rejected. Coffee was not only new, but it also had a bitter taste, although the concurrent growth of sugar consumption helped to offset that drawback. Coffee was also culturally strongly associated with Muslim infidels, to whom it owed its name, even if this imparted a certain exotic thrill to the drink. Furthermore, imports represented an inevitable drain on the balance of payments, as coffee could not be grown in Britain, and this was an anathema to those adopting bullionist and mercantilist views. Far from moving effortlessly to the centre of British gastronomic habits, coffee faced an uphill struggle, and came close to being no more than a passing fad. For Cowan, the cultural side of the ‘commercial revolution’ still largely needs to be written, and this is a worthy manifesto for future research on commodities other than coffee.

To understand why coffee was adopted and spread, the author reviews a wide range of theories. Neo-classical economists consider that supply creates its own demand, notably through the mechanism of falling prices. Marxisants point to the need to keep immiserized labourers hard at work, with sugar perhaps more important than coffee itself. Social historians variously stress pre-modern medical ideas (investigated in some detail here), social status, social emulation, sobriety, the work ethic, and romantic sensibility. Cowan himself plumps for the pioneering role of the virtuoso ethic of curiosity. This leads him to an extended and fascinating consideration of a self-declared cosmopolitan social elite of virtuosos, who moved on the fringes of the court and of universities, and who seem to have been especially prominent in early-modern Britain, as compared to other European states. Blurring the boundaries between the genteel and the popular, they popularized coffee as one in a set of exotic rarities from foreign parts.

Nevertheless, the reader is left wondering why this one element is singled out to such a degree, and whether the adoption of coffee was not due to a confluence of different factors, one of which may not be given its due here. Cowan is somewhat slow to focus on the psychoactive and allegedly addictive alkaloid known as caffeine, treated mainly in chapter 2, and he is reluctant to give it much significance in his story. There is now quite a bit written on caffeine and other alkaloids, and it is possible to see the spread of coffee as merely one among many examples of drug addiction, albeit one with relatively minor and benign side-effects. Cowan hints at this, but does not squarely engage with the arguments.

In addition, his virtuoso theory does not seem to answer some of his own pertinent questions, notably as to why this elite did not adopt other foreign novelties, such as betel, cannabis, and opium. To argue that these products were more ‘associated with licentious sexuality or drunken disorder’ than hot beverages seems scarcely satisfactory. This is especially the case with the betel quid, which Cowan misleadingly refers to as ‘betel nut’, and which contains relatively mild alkaloids, not very different from those in coffee, tea, and cocoa. However, whereas the areca nut could be exported in cured form over long distances, and slaked lime paste was easily procurable locally, it was effectively impossible to obtain leaves from the betel vine, the third necessary ingredient in a betel quid, in a sufficiently fresh state. Some Europeans resident in the tropics, unaffected by this limitation, certainly took enthusiastically to chewing betel. The same problem of the freshness of the leaf was even more important in preventing the spread of chewing qât, obtainable in the very same places that Yemeni coffee was procured, but not mentioned by Cowan. As for cannabis and opium, they were not really new to European consumers, and opium addiction, in the form of laudanum ingestion, did come to spread extensively in Britain, associated most famously with the tragic figure of Thomas De Quincey.

Similarly the virtuoso theory does not compellingly explain why coffee fared as it did compared to competing hot beverages. Cowan rightly criticizes S. D. Smith’s influential and widely-cited views on the crucial role of the East India Company in lobbying for import duties and excise taxes that favoured tea. Cowan tellingly notes that the East India Company was installed in Mocha as well as in Canton, and thus had an excellent motive to lobby as much for coffee as for tea. However, there is a lot more to be said about the competition between tea and coffee in Britain, and it is surprising in this respect that John Burnett’s Liquid Pleasures, a Social History of Drinks in Modern Britain (1999) does not feature in the bibliography. Moreover, although the existence of London chocolate houses is acknowledged, there is little said on this beverage, despite the fact that it was often served in coffeehouses. Indeed, the case of chocolate serves as a further refutation of Smith’s insistence on the primacy of taxation, albeit in the context of the early-nineteenth century resurgence of coffee consumption in Britain. As for salep or saloop, Cowan ignores it altogether, even though this drink came to occupy a significant niche in the public consumption of hot beverages, not least in London, as shown in M. Grieve’s 1931 classic, A Modern Herbal. Salep was made from powdered orchid roots, which were initially imported from the Middle East by the Levant Company, and were increasingly harvested from the wild in England.

To be fair, the book concentrates on coffeehouses rather than on coffee. Their origins lay in establishments serving alcohol, although bathhouses and barbers’ shops could also claim some rights of paternity. Their generally nondescript architectural features and their role as ‘penny universities’ are interestingly portrayed. It is shown that their function in disseminating news, orally or by way of newspapers, gradually overtook that of presenting virtuoso collections of oddities. Women were not expressly excluded from coffeehouses, but they were certainly marginalized as customers. They were rather more present as proprietors and workers, giving rise to accusations of prostitution. The presence of effeminate men was also often seen as a problem, and indeed they were sometimes caricatured as Jews or foreigners. However, the author skates away rather too quickly from the homophobic and xenophobic aspects of this story. Overall, it is not clear to this reviewer how much of this material is really new, except perhaps in terms of the extent of the detail that is provided, but it certainly makes for a fascinating tranche of social history.

Cowan further highlights the uncertainties of governments, agonizing over how to deal with coffeehouses. They went from stuffing them with spies at one extreme, to closing them down at the other, with high-church royalists as the main opponents of these establishments. Cowan argues for more continuity in the story of the official harassment of coffeehouses after 1688 than is generally allowed for. This is a fair point, but he may go too far in his revisionist claim, as he admits that there were no further attempts at outright prohibition after the glorious revolution. Tories and Whigs are declared to have been equally elitist and manipulative in their attitudes, and yet the latter’s belief in self-regulation, rather than political repression, was surely rather more important than is stated here.

More generally, Cowan attacks the whiggish proponents of the coffeehouse as an example of the interlinked development of rational modernity, the consumer revolution, and the public sphere. Indeed, Jürgen Habermas emerges as the author’s bête noire. For Cowan, every age can be seen as having engendered consumer revolutions and enjoyed public spaces, and there is no inherent reason to privilege the era of the emerging European bourgeoisie. In contrast, he places great emphasis on the diversity of coffeehouses and their clientele, described as ‘a variegated set of separate publics rather than a unique one’. Moreover, subtle mechanisms of social exclusion made these spaces less ‘public’ than they might appear at first sight. Rather than preparing democratic revolutions, the role of coffeehouses was ‘to make the cultural politics of Augustan Britain safe for an elitist whig oligarchy’. Cowan is a self-confessed ‘splitter’ rather than a ‘lumper’, and for him the devil lies in the detail. However, it is ultimately not all that clear how different his perspective really is, as evidenced in this passage: ‘The coffeehouse was perhaps the most important social space in which civil society began to flourish, in the century before Enlightenment writers such as David Hume and Adam Ferguson gave it a name and theorized its significance’.

In terms of geographical coverage, the title of the book refers to Britain, but London dominates the story to a quite remarkable degree. This undoubtedly reflects the huge influence of the capital city in the adoption and spread of the new beverage, and the concentration of coffeehouses around the seat of political power. However, London is already the best-known aspect of this story, and ‘provincializing’ the text would have given the book more impact. Why, for instance, did York contain as many as thirty coffeehouses by the late-eighteenth century? Even if the great bulk of available evidence undoubtedly concerns London, Cowan has missed an opportunity to apply some ‘positive discrimination’ to right the historiographical balance between the metropolis and the rest of the country. Wales is particularly poorly covered, notably in comparison with Scotland and Ireland, even though the author makes it clear in passing that coffeehouses spread to the Welsh lands. Whether a population that was still overwhelmingly Welsh-speaking reacted differently to curiosities from overseas is in itself an interesting question.

One could even suggest that it is a pity that Britain beyond the waves, especially the North American colonies, has been excluded from this book, save for a stray mention of a Boston coffeehouse. The adoption of hot beverages by British settlers overseas was arguably influenced by many of the same social processes that were at play in the metropolis, and the differences could in themselves be extremely revealing. Coffeehouses appear to have been less prominent in British North America than in Britain itself, but this is something that needs to be explored. The adoption of coffee by indigenous elites and peoples more obviously belongs to a different story, and yet, for example, it might be instructive to delve into the roots of the split between tea-drinking North India and coffee-drinking South India. Even if the weak and peripheral English East India Company had little or nothing to do with this divide, the question of evolving tastes in Britain’s non-settler colonies remains to be considered.

A trumpet blast for the need for a global approach does indeed appear in the conclusion, and a welcome spotlight is turned on overseas connections in chapter 3. Unfortunately, though, the common dichotomy between a commodity producing ‘South’ and a commodity consuming ‘North’ is maintained, leaving little room for an exploration of how Britain might have affected the drinking of coffee by Asians, Africans, and Amerindians. Moreover, the author displays a somewhat insecure grasp of the cultivation and marketing of coffee on the other side of the oceans. To proclaim in the conclusion that ‘the history of British coffee took place in Mocha, Surat, and Cairo,’ as much as in Britain is undoubtedly true, but any reader should exercise caution in looking at this version of this side of the story. It may well be that the book that I co-edited with Steven Topik, The Global Coffee Economy in Africa, Asia and Latin America, 1500–1989 (2003) appeared too late to be of use, but Cowan ignores fundamental work by André Raymond and Michel Tuchscherer on Red Sea trade and production, even referring to a non-existent ‘Imam of Mocha’. He neglects the development of coffee cultivation in India itself, fanning out from Mysore and affecting the emergence of a surplus in Mocha for sale to Westerners. Java is held to have had ‘plantations’, a rather misleading term to employ for the forced smallholder cultivation imposed by the Dutch from 1725. When discussing British reluctance to grow coffee in the Caribbean, there is no mention of L. J. Ragatz’s classic work, or indeed of later publications that stress the difference between the old sugar islands on the one hand, and the neutral and ceded islands, more prone to grow coffee and cocoa, on the other. The materials presented on coffee dealers in Britain, and on re-exports and smuggling of beans, are thus the most interesting and useful parts of chapter 3.

Reviewers have an irritating tendency to lament the fact that their own interests are not covered, and to focus on their own areas of expertise, neglecting what the author knows about and has worked on. Asking a specialist of overseas coffee to review a book centred on British consumption of coffee clearly runs that risk, and it is important to end by stressing that Cowan’s focus and research interests rest squarely on seventeenth-century London. In that domain, he is thoroughly at home, and in impressive command of a superlative variety of sources. This is a beautifully written book, which sustains the attention of the reader from start to finish, and which any lovers of the story of coffee will proudly display on their bookshelves.

Download

Menyelamatkan Bisnis Kopi Di Tengah Pandemi

October 10, 2020 Leave a comment

Penyebaran Covid-19 yang begitu cepat membuat banyak pihak berhati-hati dalam menjalankan bisnisnya.

BEBERAPA bisnis di industri kopi memilih untuk melakukan layanan take away saja. Namun tak sedikit pula yang memutuskan tutup sementara karena terkendala urusan perputaran uang. Lalu bagaimana menyelamatkannya? Bisakah industri kopi selamat di tengah badai pandemi ini?

Sebenarnya tak hanya bisnis di industri kopi yang mengalami dampak pandemi ini, tetapi hampir seluruh ranah bisnis. Mulai dari pariwisata hingga makanan. Mulai dari jasa hingga tekstil. Dan industri kopi dunia pun mengalami hal yang sama. Namun sesungguhnya kita masih punya harapan. Mungkin keuntungan dan penghasilan tak sebanyak sebelum Covid-19 datang tapi setidaknya kita masih bisa mengusahakan bisnis berputar dengan beberapa tips sederhana ini:

Ngopi di Rumah dengan Take Away

Semua orang tetap akan membutuhkan kopi meski tak ngopi di kedai kopi. Kafein pada kopi adalah candu dan sebagian besar orang masih bekerja walaupun ada yang kerja di rumah. Tanpa kafein konsentrasi dan fokus akan berkurang. Dengan adanya layanan take away saja sebenarnya sudah bisa membantu bisnis berjalan.

Jangan lupa bekerja sama dengan ojek online yang sangat berperan besar mengantarkan kopi-kopi kita! Bisnis kita perlu jalan, karyawan kita perlu gaji dan ‘kita’ yang di rumah sudah pasti masih butuh kopi. Maka selagi ada take away service ini maka pelan-pelan industri masih akan  berjalan.

Delivery Service

Beberapa teman saya yang memiliki kedai kopi memberlakukan layanan antar kopi langsung ke rumah pelanggan. Mereka mengatakan bahwa pelayannya di kedai bisa berganti menjadi kurir antar karena toh tidak melayani tamu yang datang. Delivery service ini bisa dilakukan dengan mininum belanja tertentu dan jarak yang ditentukan pula. Tak apa memberi charge jika jarak tempuhnya jauh. Yang penting pelayanannya maksimal, tepat waktu dan tentunya higienis!

Promosi

Siapa yang tak tergiur promo? Orang-orang sedang mengetatkan ikan pinggang agar senantiasa hemat di saat pandemi menyerang. Oleh karena itu, kedai-kedai kopi yang masih beroperasi bisa kok mengadakan promo kecil-kecilan yang menggiurkan. Bisa bekerja sama dengan para ojek online di aplikasi, bisa memanfaatkan keriuhan media sosial dan bisa juga meminta bantuan teman-teman influencer yang berdomisili di daerahmu, kan? Siapa tahu kopi-kopimu banyak yang mau beli.

Seduh Kopi di Rumah

Kedai kopimu menjual biji kopi? Kenapa tak menggalakkan seduh kopi di rumah saja? Para pelanggan tetapmu bisa tetap ngopi dengan kenikmatan yang kurang lebih mirip dengan membeli biji kopi denganmu. Jadi semua orang bisa aman dan nyaman ngopi enak di rumah!

Saling Bantu!

Di saat seperti ini, kita tentu tak bisa maju sendiri. Oleh karena itu, diperlukan saling dukung dan bantu antarkedai kopi yang ada. Pun jangan lupa membantu micro roastery yang sekarang ini memiliki kesulitan yang sama. Ajak teman-teman sesama pebisnis kopi untuk bergabung menggalakkan ngopi di rumah agar kopi tetap dibeli dan bisnis tetap berjalan!

Source

Minum Kopi Tanpa Gula itu Bermanfaat

“Jangan ada gula di antara kita,” bisik secangkir kopi hitam yang jadi teman baikmu akhir-akhir ini.

SEBENARNYA perkara gula dan kopi bukanlah satu dua hari dibahas. Kehadiran gula pada kopi pun sebenarnya adalah pilihan masing-masing orang. Dan seperti menikmati ragam hal lain, cara orang menikmati kopi pastilah berbeda-beda. Ada yang dengan gula, susu, madu, rempah atau dibiarkan hitam begitu saja. Tak ada yang salah, tak ada yang benar. Semuanya dikembalikan lagi kepada selera masing-masing.

Namun seperti diketahui, mengonsumsi gula secara terus-menerus dalam kurun waktu yang lama tentunya akan memberi efek buruk bagi kesehatan. Tak hanya gula pada kopi, gula pada makanan pun tidak disarankan dikonsumsi dalam jumlah banyak. Lalu adakah manfaat yang sebegitu hebat jika pada akhirnya kita memutuskan menceraikan kopi dari gula? Berikut beberapa manfaatnya!

Mencegah Diabetes

Seperti diketahui bahwa gula adalah musuh besar penyakit diabetes. Jadi jika kamu memiliki riwayat keluarga yang memiliki penyakit ini sebaiknya mengurangi mengonsumsi kopi dengan gula. Karena kamu berisiko terkena diabates dari turunan. Mereka yang mengonsumsi kopi tanpa gula memiliki kecendrungan lebih kecil terkena diabetes ketimbang yang tidak. Jadi sebaiknya berhenti minum kopi dengan gula jika kamu tak mau terkena penyakit menyebalkan ini.

Untuk Program Penurunan Berat Badan

Mengonsumsi kopi tanpa gula terbukti membantu penurunan berat badan dengan lebih cepat. Kopi mampu meningkatkan metabolisme hingga 50 persen. Tapi tentunya harus diimbangi dengan mengonsumsi makanan rendah kalori lain dan melakukan olahraga secara teratur setiap hari.

Membersihkan Pencernaan

Kopi adalah minuman yang bersifat diuretik. Oleh karena itu, dengan mengonsumsi kopi hitam tanpa gula bakteri dan racun pada pencernaan dapat dengan lebih mudah dikeluarkan sehingga tidak mengendap lama pada sistem pencernaan kita.

Membantu Mempertajam Daya Ingat

Mereka yang rutin minum kopi tanpa gula setiap hari memiliki risiko terkena parkinson lebih rendah dari yang tidak. Juga membantu mempertajam daya ingat dan mengurangi resiko terkena pikun pada saat menua nanti. Itu kenapa para orang tua disarankan minum kopi dalam dosis kecil agar daya ingatnya senantiasa terjaga.

Mengurangi Risiko Penyakit Jantung

Beruntunglah kamu yang tidak minum kopi dengan gula. Karena itu sangat menguntungkan kesehatan jantungmu. Kopi terbukti mampu mengurangi peradangan dalam tubuh sehingga mengurangi risiko penyakit kardiovaskular salah satunya penyakit jantung.

Artikel disunting dari beberapa situs kesehatan

Source:

Menyeduh Kopi Membantu Melatih Kesabaran?

October 8, 2020 3 comments

Seperti banyak hal di dunia, menikmati kopi pun perlu proses pula. Proses inilah yang pada akhirnya melatih sedikit demi sedikit pola kesabaran kita.

BEBERAPA literatur dan penelitian mengatakan bahwa mereka yang mengonsumsi kafein cenderung lebih energik, terburu-buru, sibuk, dan melaju begitu cepat ketimbang yang tidak. Karena kafein (pada kopi terutama), memberi stimulus pada peminumnya untuk lebih energik. Maka tak jarang sebelum berkegiatan orang-orang membutuhkan ‘suntikan’ kafein ini agar bisa melaju lebih gesit dan cepat.

Padahal di sisi lain kafein juga membantu peminumnya menjadi lebih tenang dan sadar. Kafein memberi rileksasi pada tubuh dan pikiran. Meluruhkan rasa gugup dan cemas jika diminum dengan dosis yang tepat pada saat kondisi tubuh sedang prima. Jadi tak bisa diputuskan apakah kopi memberi energi untuk kesibukan saja atau memberi ketenangan yang damai saja. Keduanya bisa dihasilkan si hitam nikmat ini.

Untuk saya sendiri kopi meningkatkan kemampuan saya dalam bersabar. Dan menurut salah seorang rekan barista yang enggan disebut namanya namun merupakan salah satu juara yang cukup dihormati ini, kopi dan prosesnya memang meningkatkan level kesabaran para penyeduhnya. “Mereka yang mulai menyeduh kopi sendiri mengaku bahwa proses seduh yang dikenal dengan slow coffee style ini memang meningkatkan level sabar dan sadar. Hasil akhir tidak begitu penting lagi. Yang paling penting adalah menikmati tiap proses. Menyortir kopi, menggiling, memanaskan air, membasahi penyaring kertas lalu perlahan menyeduh. Proses ini dilakukan terus menerus setiap hari dan menjadi kegiatan yang cukup mindfulness,” paparnya.

Itu kenapa banyak penyeduh kopi khusus dari Jepang, biasanya sangat menawan saat menyeduh. Mereka sama sekali tidak tertanggu akan apapun di sekelilingnya. Level kesabarannya begitu tinggi dan itu yang menulari para peminumnya. Yang menyeduh sabar, yang menunggu seduhannya pun turut sabar. Sebuah energi baik yang menular.

Kalau dipikir-pikir betapa manual brew sangat dinikmati karena proses pada genre kopi ini membuat banyak orang lebih fokus. Bahkan film Filosofi Kopi 2 mengatakan bahwa “menyeduh kopi ibarat meditasi” sangkin tenangnya. Jadi jika kembali ke pertanyaan judul di atas “apakah seduh kopi membantu melatih kesabaran?” untuk saya dan lebih dari 20 koresponden yang saya tanya menjawab hal yang serupa: benar adanya.

Itu kenapa hampir semua peminum kopi pagi yang seduh kopi di rumah mengaku bahwa bangun tidur dan langsung menyeduh kopi membangkitkan energi baik bahkan saat kopi belum mampir di tegukan. Lalu kamu bagaimana? Adakah menyeduh kopi meningkatkan level sabarmu? Kalau barista pasti jawabannya iya. Karena tak hanya seduh kopinya, pelanggannya pun membuat mereka harus berkali lipat lebih sabar ya?

Source:

Agar Gigimu Tetap Putih Meski Sering Ngopi

Banyak yang khawatir jika mengonsumsi kopi warna gigi akan berubah dan tak putih cemerlang lagi. Padahal ada beberapa tips yang bisa dilakukan agar kesehatan gigi tetap terjaga.

KOPI, minuman beralkohol, minuman soda, minuman manis dan beberapa minuman dengan pewarna lainnya jika dikonsumsi secara rutin akan menyebabkan berubahnya warna pada gigi kita. Maklum karena minuman tersebut bersentuhan langsung dengan gigi saat kita mengonsumsinya.

Banyak juga teman-teman saya yang ingin mengonsumsi kopi tapi enggan memulai karena takut warna gigi putih mereka berubah menjadi kekuningan dikarenakan kafein dan warna khas kopi yang hitam. Memang, kopi mampu mengubah warna gigi jika tidak diperhatikan kesehehatan giginya. Namun ada lho tips sederhana yang bisa ditiru agar gigi senantiasa putih cerah meski mengonsumsi setiap hari. Yuk ikuti tipsnya!

Berkumur 

Sangat disarankan untuk berkumur kurang lebih 10 detik sehabis minum kopi. Hal ini mampu meluruhkan sisa-sisa kopi yang masih tertinggal di rongga mulut dan gigi kita. Jadi sehabis ngopi biasakan untuk berkumur dengan air selama 10 detik. Berkumur dengan rutin mampu mengurangi risiko menguningnya gigi karena selalu dibersihkan.

Hindari Minum Kopi yang Manis

Kopi dengan pemanis memperparah kerusakan gigi dan lapisan enamel yang ada pada gigi kita. Jadi kalau bisa kurangi minum kopi dengan pemanis yang terlalu tinggi kandungannya. Dan kalau pun terjadi tetap berkumur setelah mengonsumsinya.

Sikat Gigi dengan Pasta Stroberi

Pasta stroberi yang dimaksud adalah buah stroberi dengan campuran soda kue atau baking soda. Stroberi dan baking soda mengandung asam malat yang bekerja secara efektif untuk menghilangkan noda dan zat lain di permukaan gigi kita. Cara membuatnya cukup muda. Ambil 3-4 stroberi segar lalu giling hingga halus. Setelah itu campurkan 1 sendok teh baking soda dan aduk hingga tercampur rata. Lalu aplikasikan pada gigi dengan mengoleskannya pada gigi menggunakan sikat gigi. Diamkan kurang lebih 5 menit lalu bilas dengan berkumur.

Ingat! Ini  hanya bisa kamu lakukan paling banyak 2x sebulan. Karena jika terlalu sering mampu merusak enamel pada gigi kita. Selamat mencoba!

Artikel disunting dari www.health.com

Yuk Bantu Kafe Kesayanganmu dengan Hal Sederhana Ini !

Berapa banyak kedai-kedai kopi di sekitar kita yang mulai menyerah dengan pandemi ini? Sebelum semakin banyak, mari bantu yang masih bertahan dengan hal-hal kecil ini!

PANDEMI tak hanya menyerang satu bidang industri, tapi menerjang hampir keseluruhan cabang bisnis. Tak terkecuali industi kopi kita. Mulai dari kedai kopi, roastery, green buyer, penjual alat kopi hingga petani yang jauh di hulu sana. Jika satu saja rantai industri kopi kita terhenti, maka akan terhambatlah seluruh lingkaran panjang ini.

Kita juga paham, daya beli pasti berkurang. Tapi setidaknya kita masih bisa membantu sedikit. Semua orang punya caranya untuk membantu, sekecil apapun itu. Dan kita yang di hilir bisa kok ikut membantu kedai kopi agar mereka terus berjalan, lalu roastery pun ikut bergerak hingga ke petani yang masih bisa menjual biji kopinya. Berikut adalah beberapa hal kecil yang bisa kita lakukan!

Tetap Beli Kopinya

Tak harus setiap hari. Tak musti setiap waktu. Karena kita sama-sama tahu semua orang sedang berhemat dalam situasi yang tak jelas ini. Mungkin tiga hari sekali atau seminggu sekali, secangkir kopi yang kamu beli akan menyelamatkan roda bisnis kedai kopi. Setidaknya ada perputaran. Setidaknya ada geliat meski geraknya kecil. Tapi jika satu orang berpikir sama denganmu, maka akan ada pergerakan besar, bukan?

Bantu Mereka Berpromosi

Jika mereka mengadakan promo, tak ada salahnya untuk ikut menyebarkan berita ini. Di sinilah kekuatan media sosial dibutuhkan. Tak ada ruginya jika kamu mengunggah promo-promo mereka di Instagram Story. Jangan pikir ini tak berguna? Di waktu sekarang pengguna media sosial lebih banyak melihat media sosial dari waktu sebelum pandemi. Siapa tahu satu atau dua orang akan tertarik beli, ya kan? 

Beri Masukan

Jangan ragu untuk memberi masukan jika kamu memiliki ide-ide penjualan di masa pandemi ini. Siapa tahu memang berguna dan bisa meningkatkan penjualan mereka. Beri masukan mereka agar melakukan “live brewing” di akun Instagram-nya. Atau beri masukan mengadakan games kecil-kecilan untuk meningkatkan awareness. Apapun itu pasti berguna.

Seduh Di Rumah ala Kedai Kopi

Kalau kamu adalah tim seduh kopi di rumah, maka inilah saatnya mendukung kedai kopi favoritmu dengan biji kopi atau espresso blend yang mereka jual. Beberapa kedai kopi menjual espresso blend atau blend khusus kopi susu mereka agar penikmat kopinya bisa menyeduh sama enaknya di rumah. Ini bisa kamu beli dan pastinya jauh lebih hemat kan? Jangan lupa untuk stok single origin jika kedai kopimu menyediakannya juga. Bantu kedai kopi, bantu roastery dan tentu bantu petani!

Foto utama dari digitaltrends.com

Source:

Kenapa Meminum Kopi?

Setiap orang punya alasan berbeda-beda kenapa pada akhirnya memutuskan untuk mencoba minum kopi, kemudian rutin menikmatinya dan lama-lama mencandu luar biasa.

SEBELUM pertanyaan pada judul ini saya tanyakan kepada orang lain, terlebih dahulu saya tanyakan pada diri sendiri. Kenapa saya memutuskan minum kopi? Setelah diingat-ingat sedari mula alasan saya minum kopi adalah karena saya suka rasanya. Dulu tentu tak terlalu pusing soal kandungan dan manfaatnya. Tapi saya ingat benar saya suka dengan rasanya. Sama seperti ketika saya suka makan cokelat, makan bakso, makan pasta dan tak bosan-bosan menikmati makanan itu. Begitu pula saya pada kopi.

Belakangan saya suka efeknya. Kopi memberikan efek menyenangkan. Membangkitkan kesenangan dan memberi energi baik. Setidaknya itu yang saya rasakan hingga hari ini. Lalu bagaimana dengan kebanyakan pecandu kopi? Kenapa mereka memutuskan minum kopi? Saya melakukan riset kecil-kecilan kepada beberapa pecandu kopi dan jawabannya terbanyak kenapa mereka memutuskan minum kopi akan saya paparkan pada poin di bawah ini!

Butuh Kafeinnya

Kebanyakan orang ternyata membutuhkan kafein yang terkandung di dalam kopi. Kafein seperti diketahui dengan kekuatan ajaibnya mampu memberi energi, meningkatkan konsentrasi dan membuat kita lebih fokus. Juga membantu orang untuk bangun pagi dan lebih semangat beraktivitas. Beberapa koresponden mengaku tidak minum kopi untuk bersenang-senang. Tetapi membutuhkan efeknya karena berbagai alasan. Untuk bekerja untuk belajar di malam hari, untuk lebih semangat menjalani hari dan sebagainya!

Suka dengan Rasanya

Kenikmatan kopi memang tak bisa dibantah. Itulah alasan beberapa koresponden lainnya akhirnya memutuskan untuk menjalani hidup dengan kopi. Awalnya hanya coba-coba, kemudian lama-lama jatuh cinta. Jadi kemana pun pergi, kopi selalu jadi menu yang dipesan dan kemudian diseduh sendiri di rumah. Jika rasa sudah bicara, hati pun susah untuk berpaling. Bukan begitu?

Ranah Bersosialisasi

Banyak yang mengaku bahwa kopi hadir di hidup mereka berawal dari bersosialisasi. Ajakan semacam “ngopi yuk!” masuk sebagai rutinitas hidup sehari-hari. Mau tak mau kopi menjadi media untuk bertemu dan bersosialisasi. Tak ada tatap muka tanpa kopi di meja. Lama-lama terbiasa, suka dan tak bisa lepas lagi. Bahkan yang awalnya ngopi hanya karena iseng semata terjebak dengan ajaib hingga jadi candu hingga hari ini.

Kalau kamu, apa alasanmu memutuskan minum kopi?

Source:

Sejarah Aneh Kopi, Minuman Iblis Hingga Viagra

Kopi adalah komoditas kedua yang paling banyak diperdagangkan di dunia, kemudian disusul minyak bumi, dan kopi juga telah menjadi andalan dari diet modern. Kopi juga dipercaya berasal dari Ethiopia, kopi digunakan di Timur Tengah pada abad ke-16 untuk membantu konsentrasi. Tetapi apakah Anda tahu kopi memiliki fakta lain yang mencengangkan di belakangnya?

Tidak hanya pada saat ini saja, dalam sejarah kopi sudah memiliki banyak kegunaan, dari spiritual hingga stimulan erotis. Diarist Samuel Pepys sering menulis tentang kedai kopi di London abad ke- 17, dan menggambarkan kopi sebagai “air yang pahit dan berbau busuk”. Di sini, Paul Chrystal, penulis ‘A Drink For the Devil’, membagikan lima fakta tentang penemuan kopi dan mengeksplorasinya lebih mencengangkan.

1. Kopi Ditemukan Oleh Pengembala Kambing

Legenda mengatakan bahwa Kaldi, penggembala kambing kesepian di Ethiopia abad ke-9, menemukan efek energi dan menyegarkan ketika ia melihat kambingnya bersemangat setelah memakan biji kopi. Kaldi memberi tahu kepala biara setempat tentang hal ini dan kepala biara datang dengan gagasan mengeringkan dan merebusnya untuk membuat minuman.

Pada suatu waktu, Abbas dan para biarawannya menemukan bahwa minuman itu membuat mereka terjaga berjam-jam. Berita itu kemudian menyebar sejauh semenanjung Arab. Seorang Sufi Yaman bernama Ghothul Akbar Nooruddin Abu al-Hasan al-Shadhili juga mengklaim atas penemuan kopi. Saat itu dirinya melihat burung-burung pemakan biji kopi terbang di atas desanya luar biasa penuh semangat. Saat mencicipi beberapa buah, dia juga mendapati dirinya sangat waspada.

2. Diyakini Bahwa Kopi Itu ‘Berdosa’

Kopi, seperti alkohol, memiliki sejarah panjang pelarangan, menarik rasa takut dan kecurigaan. Minum kopi dilarang oleh para ahli hukum dan ulama di Mekah pada 1511. Pihak oposisi yang dipimpin gubernur Mekah Khair Beg, takut bahwa kopi akan mendorong perlawanan terhadap pemerintahannya dengan menyatukan para pria untuk menggagalkannya.

Maka lahirlah asosiasi kopi dengan penuh hasutan dan revolusi. Bahwa kopi itu ‘berdosa’. Tetapi kontroversi mengenai apakah itu memabukkan atau tidak, menggelembung selama 13 tahun sampai larangan itu akhirnya dicabut pada tahun 1524 oleh perintah dari Ottoman Sultan Turki Selim I. Di Kairo ada larangan serupa pada 1532, kedai kopi dan gudang kopi di sana digeledah.

3. Kopi Dikenal Sebagai Minuman Iblis

Tidak butuh waktu lama untuk penyebaran kopi dari tanah Arab ke dataran Eropa. Venesia menjadi negara pertama yang mendapatkan kopi lewat perdagangan yang menguntungkan. Pada awal kedatangannya, kopi tidak serta merta mulus, tetap menjadi kontroversi. 

Ketika datang di daratan Eropa itu, ternyata kopi juga dianggap sebagai minuman keras yang misterius, eksotis, dan memabukan. Bagi umat Katolik kopi adalah ‘minuman iblis’. Hal tersebut karena kecurigaan untuk pengganti anggur. Saking khawatirnya,  Paus Klemens VIII turun tangan dan mencicipinya. “Minuman iblis ini sangat lezat,” kata dia. Sejak saat itu, kopi telah dijuluki minuman iblis, atau cangkir iblis.

4. Kedai Kopi Menjadi ‘Internet Pertama’

Bagi banyak pria melek huruf pada saat itu, kedai kopi adalah korannya, internetnya, atau tempat di mana informasi berkeliaran. Pada 1675, di Inggris sudah ada setidaknya 3.000 kedai kopi. Beberapa bahkan memiliki tempat tidur dan sarapan untuk tamu yang bermalam. 

5. Kopi Diklaim Sebagai ‘Viagra’

Kecuali pelacur, wanita yang ada di kedai kopi akan dikeluarkan. Hal itu justru disengaja dan membiarkan wanita untuk membencinya. Dalam An Essay in Defence of the Female Sex pada 1696, Mary Astell yang marah menulis, bahwa Habitue adalah seseorang yang memiliki rumah, tetapi dia tinggal di kedai kopi. 

Astell melanjutkan bahwa, Habitue lebih banyak membaca koran daripada dengan buku-bukunya. Bahkan, lebih banyak bercakap dengan orang-orang di kedai kopi membuatnya tidak peduli dengan rumah pribadinya. “Habitue selalu menyelesaikan persoalan bangsa, namun tidak pernah mengelola keluarganya sendiri,” tulis Astell.

Pada 1674 ada ‘Petisi Wanita’ yang terhadap Kopi , di mana para istri berpendapat bahwa suami mereka selamanya absen dari rumah dan keluarga, mengabaikan tugas domestik mereka. Kopi, kata para istri itu, membuat pria tidak berbuah (disfungsi ereksi). Klaim ”petisi wanita’ dijawab oleh para pria pada tahun 1663 dalam pamflet The Maiden’s Complaint Against Coffee.

Di sisi lain, kopi dianggap sebagai Viagra hari itu. Pasalanya bisa membuat ereksi lebih kuat, ejakulasi lebih penuh, hingga menambah spiritualitas pada sperma. *** (SS) 

Source: