Archive

Archive for the ‘Namoura Coffee’ Category

Dampak Minum Kopi Pada Gula Darah

September 24, 2020 Leave a comment

Sejumlah penelitian juga sudah banyak mengungkapkan dampak minum kopi dengan kadar gula darah. (healthline)

Pencinta kopi umumnya harus menyeruput kopi setiap hari untuk meningkatkan mood. Tak terkecuali penderita diabetes atau kadar gula darah tinggi. Sejumlah penelitian juga sudah banyak mengungkapkan dampak minum kopi dengan kadar gula darah.

Dilansir dari Caffeine Informer, Minggu (9/2), telah ada penelitian yang luas tentang apakah mengonsumsi kopi (kafein) aman untuk mereka yang menderita diabetes tipe 2 serta apakah kopi dapat membantu mencegah diabetes. Dengan populasi penderita diabetes tipe 2 yang terus meningkat, tentunya penting untuk mengetahui batasan yang tepat dalam mengonsumsi kafein.

Sebab salah satu cara mencegah diabetes adalah dengan diet sehat, minum minuman rendah gula dan membatasi karbohidrat olahan. Maka untuk mencegah diabetes, sebaiknya tidak menambahkan gula pada kopi Anda. Namun paling tepat untuk menghindari diabetes tentunya dengan pola hidup sehat dan olahraga. Sedikitnya ada beberapa penelitian yang mengungkapkan dampak minum kopi pada gula darah.

1. Sebuah studi yang diterbitkan oleh American Diabetes Association menunjukkan bahwa mereka yang rutin minum kopi tanpa gula, memiliki kadar gula dan insulin yang lebih rendah. Tampaknya kopi bisa mencegah timbulnya diabetes tipe 2. Pada penelitian itu, para pria yang kelebihan berat badan diberi kopi tanpa kafein. Tingkat glukosa dan insulin peserta diperiksa setelah konsumsi kopi. Ternyata hasilnya menunjukkan penurunan kadar gula dan insulin.

2. Penelitian lain menganalisis diabetes dan konsumsi kopi yang dilakukan oleh Dr. Frank Hu dari Harvard. Timnya menemukan bahwa risiko diabetes tipe 2 menurun 9 persen untuk setiap cangkir kopi yang dikonsumsi. Kopi tanpa kafein mengurangi risiko sebesar 6 persen per cangkir.

3. Sebuah penelitian selama 11 tahun mengamati hubungan risiko diabetes dan kopi pada perempuan pascamenopause. Mereka menemukan bahwa perempuan yang mengonsumsi 6 cangkir kopi memiliki risiko 22 persen lebih rendah terkena diabetes tipe 2.

4. Sebuah penelitian dati Swedia selama 18 tahun juga menunjukkan tingkat penurunan risiko yang lebih besar di antara perempuan yang mengonsumsi kopi setiap hari. Swedia adalah salah satu konsumen kopi tertinggi di dunia.

5. Sebanyak 19 dari 22 studi epidemiologi menyimpulkan bahwa konsumsi kopi jangka panjang, baik yang berkafein maupun tanpa kafein, dapat mengurangi risiko diabetes tipe 2. Namum beberapa peneliti telah memperingatkan bahwa kafein dalam kopi berkafein dapat merusak metabolisme glukosa jika berlebihan. Penelitian itu diungkap dalam Jurnal Diabetes Studi baru dari Sekolah Kesehatan Publik Harvard dan itu menunjukkan bahwa risiko diabetes tipe 2 berkurang dengan setiap cangkir kopi yang dikonsumsi.

6. Penelitian lain di Denmark menunjukkan bahwa konsumsi kopi tidak meningkatkan risiko diabetes tipe 2 atau risiko obesitas bahkan bagi peminum kopi yang paling rutin. Sebanyak 93 ribu orang dianalisis untuk penelitian ini dan tidak ada hubungan antara obesitas, konsumsi kopi dan diabetes.

7. Terbaru, sebuah tinjauan tahun 2020 terhadap 25 studi menemukan bahwa setiap cangkir kopi berkafein yang dikonsumsi ada pengurangan 9 persen dalam risiko Diabetes Tipe 2. Studi ini dipublikasikan dalam American Journal of Clinical Nutrition.

Source:

Minum Kopi Bikin Panjang Umur: Mitos atau Fakta?

September 23, 2020 Leave a comment

Minum kopi merupakan ritual wajib bagi beberapa orang. Alasannya beragam, dari teman makan roti sampai untuk meningkatkan semangat. Tak sedikit orang yang percaya kopi bisa menambah stamina. Semua alasan benar asal meminumnya dengan takaran yang pas.

Bahkan, menurut studi terbaru yang disampaikan dalam European Society of Cardiology baru-baru ini, kopi dipercaya bisa menurunkan risiko kematian dini. Studi observasi yang dilakukan terhadap 20 ribu responden itu menunjukkan bahwa kopi bisa menjadi salah satu alternatif minuman sehat.

Adela Navarro, ahli jantung dari Hospital de Navarra di Pamplona, Spanyol, dan timnya memulai penelitian tersebut dari fakta bahwa kopi merupakan minuman yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Mereka pun mencoba menguji hubungan antara konsumsi kopi dan risiko mortalitas pada kelompok setengah baya (rata-rata di atas 37 tahun) di kawasan Mediterania daerah Eropa Selatan, Portugal, dan Spanyol; serta Afrika Utara, seperti Maroko dan Aljazair.

Studi yang termasuk bagian proyek jangka panjang Seguimiento Universidad de Navarra ini merupakan yang pertama mengungkap kaitan kopi dan mortalitas di daerah tersebut. Para peserta diminta mengisi kuesioner seputar konsumsi kopi, gaya hidup, dan karakteristik sosiodemografi, pengukuran antropometrik (fisik), dan kondisi kesehatan sebelumnya. Perkembangan para peserta riset diamati selama 10 tahun.

Metode statistik yang digunakan adalah model regresi Cox, yang biasa digunakan untuk menghitung estimasi ketahanan hidup suatu kelompok. Selama penelitian, ada 337 peserta yang meninggal dunia. “Kalau ada yang meninggal, keluarga diminta memberitahukan detail kematian kepada kami serta catatan kesehatannya,” ujar Navarro, seperti dikutip dari laman European Society of Cardiology.

Setelah dianalisis, partisipan yang mengkonsumsi kopi setidaknya empat cangkir per hari memiliki risiko kematian 64 persen lebih rendah ketimbang yang tidak pernah mengkonsumsi kopi. Adapun yang meminum dua cangkir sehari memiliki risiko kematian 22 persen lebih rendah.

Navarro dan tim juga memeriksa faktor kelamin, usia, dan pola makan. Hasilnya, para responden yang berumur 45 tahun dan mengkonsumsi dua cangkir kopi sehari memiliki risiko kematian 30 persen lebih rendah ketimbang mereka yang tidak minum kopi sama sekali.

Studi Navarro dan tim mengkonfirmasi temuan sebelumnya yang terbit dalam jurnal Nature Medicine pada Januari lalu. Riset ini dilakukan kelompok ilmuwan dari Stanford University. Penelitian yang didanai National Institute of Allergy and Infectious Diseases serta Ellison Medical Foundation ini menganalisis data sampel darah dan sejarah medis keluarga lebih dari 100 partisipan. Tujuannya, untuk melihat proses penuaan.

Peserta di atas 45 tahun memiliki kadar protein peradangan, yang disebut IL-1-beta, lebih tinggi ketimbang orang muda. Di dalam kelompok orang tua pun banyak yang memiliki kadar IL-1-beta sangat tinggi. “Mereka punya risiko tinggi terkena hipertensi dan penyumbatan arteri lebih cepat karena peradangan,” ujar Mark Davis, anggota studi yang juga pakar mikrobiologi dan imunologi di Stanford, seperti dikutip Live Science.

Davis dan timnya kemudian menyelidiki kelompok orang tua dengan jumlah IL-1-beta rendah. Mereka lantas menemukan hubungan yang menarik, yakni kelompok tersebut menyatakan mengkonsumsi kopi secara rutin. Hal itu dibuktikan saat tim menganalisis sampel darah mereka dan melihat kandungan kadar kafein di dalam darah partisipan. Setelah diuji di laboratorium, kafein ternyata mencegah IL-1-beta menyebabkan inflamasi pada sel tubuh.

Tentunya, ini menjadi satu lagi kabar gembira bagi penikmat kopi. “Untuk saat ini, minum kopi dapat menjadi salah satu cara mengurangi risiko kematian dini, selain pola hidup sehat,” kata Navarro. “Tentunya, harus ada studi lebih dalam untuk melihat fungsi kopi dan kafein secara utuh.”

Source:

Namoura Lintong Arabika Bubuk

September 22, 2020 Leave a comment
Kopi Lintong

Pencinta kopi Nusantara pasti mengenal produk kopi unggulan Indonesia ini. Namanya Kopi Litong. Kopi berkualitas sangat bagus ini merupakan salah satu produk kopi unggulan Pulau Sumatra. Dua produk lainnya yakni Sidikalang dan Gayo.

Kopi arabika lintong, atau biasa disebut kopi lintong saja, telah dikemas apik dan menjadi oleh-oleh favorit para pelancong di Danau Toba, Sumatra Utara (Sumut).

Tak hanya di pasar lokal dan nasional, kopi beraroma khas ini juga telah merambah ke pasar internasional. Para pencinta kopi pasti mengenali rasanya yang spicy bercampur herba, rempah, kacang atau coklat.

Kopi lintong berasal dari Humbang Hasundutan (Humbahas) yang merupakan kabupaten hasil pemekaran Tapanuli Utara pada 2003 lalu. Sejak 1800-an masyarakat setempat meyakini sudah mengenal komoditas bernilai jual tinggi ini.

Kopi ini diperkenalkan Belanda di kota pegunungan itu melalui tanam paksa. Tanah yang subur dan ketinggian yang pas (lebih dari 1.000 mdpl) menjadikan arabika tumbuh baik di sini. Namun, tak banyak yang mengetahui kapan kopi lintong mulai dibudidayakan warga setempat.

Namoura Coffee menghadirkan untuk kalian para penikmat kopi berkualitas, Arabika  Lintong Bubuk yang memiliki citarasa yang khas, kekentalan yang baik dan keasaman seimbang serta memiliki rasa coklat dan rempah-remah dalam tiga kemasan, yakni: 250 gram, 500 gram, dan 1 Kg.

Egypt’s Coffee Culture: From Roasted Beans to Social Revolution

September 21, 2020 Leave a comment

Coffee is no stranger to the Arab and Middle Eastern cultures, especially Egypt, where one can find all sorts of coffeehouses in every corner. But coffeehouses were not always welcomed in the country.

Coffee first arrived to Egypt in the 16th century. According to Jonathan Morris’s book ‘Coffee: A Global History’, a group of Al-Azhar students at the time witnessed some Yemeni expatriate students sipping a dark drink before studying or performing long religious rituals. Naturally, the Al-Azhar student’s curiosity grew; it wasn’t long before they decided to try the same drink hoping to achieve the desired effects.

People began consuming the bitter drink in mosques during dhikr, a Sufi ritual that revolves around the remembrance of God, and other religious festivals such as mulid, a celebration of the birth of Prophet Mohamed.

Not long after, coffeehouses started opening in every corner commodifying coffee thus rendering them accessible to the mass. These coffeehouses became akin to social clubs,  allowing people to gather in public spaces just to drink coffee while conversing.

The idea of “gathering” drew the attention of authorities who equated coffee with alcohol. It was then that the question regarding coffee’s permissibility surfaced. Some Islamic schools and scholars lalso found issue with the natural beverage; one example was Sheikh Ali Ahmed Sonbati who, in 1572, claimed that coffee is intoxicating and should thus be forbidden.

Concerns were raised when coffee shops started to become a space for socializing rather than a space for coffee itself.  Fearing the nature of the discussions people were engaged in, Egyptian authorities attempted to ban coffeehouses.

Despite the attempts to halt the activity of coffeehouses, they remained popular in Egypt and the rest of the Middle East.

Why have coffeehouses created this political and cultural instability? Coffeehouses were an extension of the private space to a public surrounding. Coffeehouses have later developed as an extension of the household where people were used to hosting guests; it influenced the patterns of domestic hospitality with the rise of urbanization and migration.

The concept of “the bourgeois public sphere” is defined as private people coming together to confront the state and the political authorities. This concept was coined by the German philosopher Jürgen Habermas which allowed historians to understand how coffeehouses have contributed to forming this cultural sphere.

A BRIEF HISTORY OF COFFEEHOUSES

To understand why “gathering in public space” was very triggering to authorities, one must look at the historical context of the time. This was during the Ottoman period where there was political unrest in Middle Eastern countries which were attempting to gain independent power.

The coffeehouses thus were quickly perceived as a potential social hub where people could come together and discuss apolitical matters like literature and interests. It was also a space that allowed for the exchange of knowledge. Later, it developed as a space where people could discuss current news and comment on political situations.

The attitudes towards coffeehouses go beyond coffee and social gathering. Selma Ozcosak said in her book ‘Coffeehouses: Rethinking the Public and Private in Early Modern Istanbul’ that the answer lies by “tracing their (coffeehouses) correlations with wider developments, such as the level of urbanization, migration, and the consequent rise of public sociability, and their links to transformation of the pattern of traditional domestic hospitality, and the evolution of public and private space”.

Coffee was commodified by merchants who wanted to create a demand for coffee to be able to sell their products. The merchants also took advantage of the nature of coffee in their quest for growing businesses: as coffee does not expire, it means that it can easily be stored for a long period and people would buy it in bulk because of its high consumption.

Therefore, merchants thought of another way to further increase the demand for coffee by opening coffeehouses in return for their responsibility and monopoly over the for the coffeehouses’ supply.

Before coffeehouses came to exist, people would only come together during occasions. Other means of socializing was in boza-houses, which served alcoholic and non-alcoholic drinks, and food but which had previously also received negative attitudes from the public.

Public baths and barbershops were also other places where people could socialize. When coffeehouses where banned, mini versions of coffeehouses would open inside barbershops. Coffee was also served in public baths for both men and women.

The state was not the only establishment that had issues with the existence of the coffeehouse discourse. Citizens living in neighborhoods in proximity to where coffeehouses were located felt uneasy about this early modern establishment and questioned its morality.

Abd-al Qadir Al Jaziri, a Muslim writer in the 16th century, noted that people who went to coffeehouses in Egypt were drug users, and that frequenters spent their whole day there while pious men would walk in at dawn for a cup of coffee and leave.

THE SOCIAL AND POLITICAL ROLE OF COFFEEHOUSES 

Coffeehouses attracted negative attention which linked the places of services to criminal activity and prostitution. Ghawazi, who were unveiled women who danced in public space, were mainly present in coffeehouses as a form of entertainment to the men who would come to spend their time indulging in a cup.

The establishments became a part of a public space that was accessible to people with different backgrounds and socioeconomic classes. Even though they, perhaps, sat in different corners of the coffeehouse, nonetheless, it was socially inclusive and the discussions became available and common.

Although when they first emerged coffeehouses where situated near mosques, due to it being the ideal place to attract the greatest number of men, they later expanded to different neighborhoods and became the main place where people could spend their time rather than mosques.

It is important to note that these coffeehouses were only accessible to men. Women could only consume coffee in public baths as it was the only legitimate excuse to leave the house.

The obscene increase in coffeehouses in the city lead to urban migration because of the job opportunities that were became available.

Often times, the coffeehouse owner would reside in a neighborhood close to the coffeehouse or in a room inside the coffeehouse. Sometimes these coffeehouses even had enough room to house the employees. This only eased the immigration process further, making the establishments a sought after option for the working class.

Coffee led to the sprouting of coffeehouses in a time when socializing was in need as a byproduct to many political cultural and social changes. The banning of coffee because it was an invention that lead to intoxication, and later of coffeehouses because they inhabited immortals,  was to assure the security of the state.

It is evident that the ruling regime was afraid of the comments of people on public policy and affairs. It is interesting to see not only the social rise of a drink that has been very deeply rooted in Arab culture but also the change in social structure, behavior and public space as a result of coffeehouses.

Regardless of all the attempts and attacks on coffee and coffeehouses, they continued to spread not only across the Middle East but around the world with coffee becoming the world’s number one legal ‘drug’ as some might call it.

Today, while steaming cups of American-style coffee have infiltrated Egypt’s café culture, Egyptians are mostly fond of Turkish style coffee: roasted coffee-bean powder mixed with little sugar, without milk, on the stove.

Nour Eltigani

August 24, 2019

Source:

Namoura Arabika Sidikalang Bubuk

September 20, 2020 Leave a comment
𝐍𝐀𝐌𝐎𝐔𝐑𝐀 𝐂𝐎𝐅𝐅𝐄𝐄

Mengenal beragam jenis kopi yang sudah mendapat predikat sebagai kopi terbaik tentu tak lepas dari jenis kopi satu ini, kopi Sidikalang. Jenis kopi satu ini ternyata tidak kalah populer dengan jenis kopi yang lain seperti kopi Luwak. Sama sama berasal dari Indonesia, kopi Sidikalang ternyata juga mendapat pengakuan dari banyak pencinta kopi tidak hanya di Indonesia tapi  juga di negara negara lain seperti negara Amerika Serikat. Pertanyaannya, lalu apa yang menjadikan kopi Sidikalang ini begitu spesial?

Kopi Sidikalang ini juga sangat terkenal akan cita rasanya yang unik dan lezat. Kopi Sidikalang berasal dari Sumatera, tepatnya di sebuah ibukota kabupaten Dairi, Sumatera Utara.

Selain mendapat pengakuan dari para penikmat kopi di negeri sendiri, negeri Indonesia, kopi Sidikalang ternyata mampu bersaing dengan jenis kopi lain termasuk kopi Brazil. Hal ini tentunya bukan sesuatu yang mengejutkan karena kopi Sidikalang memiliki cita rasa khas yang tidak dimiliki oleh jenis kopi lain. Di tempat asalnya sendiri, pulau Sumatera, boleh dibilang kopi Sidikalang adalah rajanya kopi.

Namoura Coffee dengan bangga menghadirkan ikon kopi sumatera ini untuk kalian para penikmat kopi berkualitas, Arabika Sidikalang Bubuk yang memiliki kadar kafein lebih tinggi dibanding jenis kopi lain pada umumnya, aroma khasnya adalah manis karamel yang berpadu dengan sedikit rasa rempah. Kemudian, after taste khasnya adalah perpaduan antara citrus, dark chocolate dan fruity yang cukup segar. Ikon kopi Sumatera ini kami hadirkan dalam bentuk tiga kemasan, yakni: 250 gram, 500 gram, dan 1 Kg.

Global Value Chain for Indonesian Coffee Exports

September 13, 2020 Leave a comment

This report examines Indonesia’s participation in the global value chain (GVC) for coffee exports and outlines the barriers that Indonesian farms face to expanding the overall value generated by the country’s coffee sector. Combining information from a wide-ranging examination of Indonesia’s coffee sector (including an in-depth supply-chain analysis) with feedback from several in-person interviews and surveys with Indonesian farms, this report also provides evidence-based recommendations for how strategic public policy can alleviate the identified barriers to the export competitiveness of Indonesian coffee exporters.

Coffee is one of the most highly tradeable commodities in the world, and Indonesia is a prominent player in the global market. It accounts for roughly 7 per cent of total global coffee production, and around 6 per cent of global exports. Over the past decade, Indonesia’s coffee production has grown at about double the pace of global coffee production, fueled by growth in both domestic and foreign demand. Despite this fact, stakeholders along Indonesia’s value chain for coffee face several obstacles to expanding the overall value generated by the sector. Most notably, the coffee sector is hindered by weak and stagnant farm-level productivity; it remains geared towards lower-value Robusta coffee; and it faces significant slack in its supply-chain structure, largely due to its geographical circumstances.

In the absence of capacity expansion across the globe, growth in global coffee demand is set to outpace growth in supply in the future. Against this backdrop, Indonesia has significant opportunities to expand its footprint in the global coffee market, especially if it can address the unique challenges that inhibit success for firms along the coffee value chain. Key recommendations for addressing the sector’s identified barriers to competitiveness include promoting the diffusion of good agricultural practices (GAP) throughout the sector, facilitating more widespread certification of coffee, and continued commitment to better road and port development.

Download

Apakah Kita Sudah Jadi Pelanggan Yang Baik?

September 12, 2020 Leave a comment

Kedai kopi memang bukanlah ranah tempat rambu-rambu harus dipatuhi. Tapi ada ‘peraturan’ yang mungkin tak tertulis yang sebaiknya dijalankan dengan sebaik-baiknya.

APAKAH kita sudah jadi pelanggan yang baik di kedai kopi? Pertanyaan itu mampir di kepala beberapa hari lalu dikarenakan saya menyaksikan sebuah unggahan di media sosial perihal perilaku pelanggan di kedai kopi yang tak sengaja terekam cctv. Lalu saya sendiri pun mengingat-ingat apakah saya sudah jadi pelanggan yang baik?

Untuk itu, saya akan jabarkan beberapa poin sederhana yang mungkin pernah kita lakukan di kedai kopi padahal hal tersebut tidak diperbolehkan. Berikut poin-poinnya!

Enggan Memesan ke Kasir

Padahal sudah jelas-jelas kedai kopi tersebut bertuliskan self-service dan cara memesan adalah langsung ke kasirnya. Beberapa orang ternyata (termasuk beberapa teman sendiri) pernah memesan langsung dari meja dengan memanggil pelayannya. Beberapa kedai kopi mungkin memaklumi, tapi sebaiknya kita mematuhi peraturan kedainya. Lagian apa sulitnya datang ke kasir dan memesan sendiri, bukan? 

Terlalu Berisik

Saya sendiri pernah tidak sadar ngobrol terlalu berisik di masa lalu tanpa memerdulikan meja sebelah yang sedang rapat. Kedai kopi memang tempat berseru-seruan, tapi kita harus sadar bahwa ini bukanlah milik kita seorang. Ada baiknya mengecilkan volume suara dan sedikit peduli soal sekitar. Lagian tak mau kan ngobrol kekencangan dan meja sebelah mendengar gosip-gosip panas yang sedang kamu bicarakan?

Tak Pulang-Pulang

Kedai kopi memiliki jam operasional. Namun beberapa pelanggan justru kerap enggan pulang padahal barista dan pelayannya sudah kasih kode. Lampu satu per satu sudah dipadamkan. Bangku dan meja sudah dilap dan disusun ke pinggir. Ada saja pelanggan yang terlampau betah dan tak mau pindah. Jangan begitu ya. Barista dan staf lain juga perlu istirahat. Kedai kopi ditutup bukan berarti mereka langsung pulang lho. Ada urusan lain yang harus dikerjakan di kedai. Mulai dari bersih-bersih, hingga hitung-hitung hasil penjualan.

Membawa Makanan Minuman dari Luar

Ini sering terjadi meskipun sudah ada tulisan dilarang membawa makanan dan minuman. Dengan dalil “ah makanan kecil aja kok”. Tapi di kedai kopi juga ada makanan kecil juga lho mas mbak. Marilah membantu dengan beli jajanannya dan jangan membawa makanan dari luar. Dengan itu kamu sudah membantu roda perekonomian kedai kopi turut berputar sekaligus menghormati peraturan yang sudah mereka buat.

Dan Lain-Lain

Membiarkan meja penuh sampah dengan porak-poranda. Mendengarkan musik dan menonton film tanpa headset. Menggeser meja dan bangku suka-suka tanpa izin dari staf. Dan masih banyak lagi.

Jika kamu ada melakukan 3 dari beberapa poin di sini, berarti kamu belum termasuk pelamggan yang baik. Tenang, masih ada waktu untuk menjadi lebih baik. Yuk bisa yuk!

Robusta Pun Tak Hanya Soal Pahit Saja

September 11, 2020 Leave a comment

Robusta di era kini dianggap kopi kelas dua. Mungkin karena rasanya tak sekompleks arabika atau mungkin karena kafeinnya yang dua kali lipat lebih tinggi juga.

NAMUN banyak yang kurang tahu bahwa robusta yang dianggap kopi pahit dengan kafein yang tinggi ini ternyata juga bisa nikmat. Kenikmatan pada robusta bisa hadir dari kompleksitas rasa yang dibawanya meski mungkin tak ‘semeriah arabika’.

Di artikel sebelumnya saya pernah membahas soal kekeliruan tentang robusta dan ternyata banyak respon positif. Di artikel ini saya hanya ingin memaparkan beberapa opini berdasarkan pengalaman sendiri menikmati robusta. Robusta tak melulu pahit saja. Kalimat ini bisa dipertanggung jawabkan karena saya pernah mencicip satu fine robusta yang rasanya manis karamel, body medium dan jauh dari rasa ‘karet’ dan gosong.

Bahkan Indonesia sendiri menurut Mia Laksmi Handayani, seorang R-Grader sangat berpotensi menghasilkan robusta-robusta terbaik. Tanah Indonesia sangat luar biasa subur untuk tumbuhnya robusta yang tak kalah dari negara penghasil robusta lain seperti Viet Nam.

Satu-satunya yang harus dipahami oleh kita semua adalah robusta bukan hanya sekadar campurna sekian persen house blend demi rasa yang lebih tebal atau minuman kopi tubruk tradisional yang hanya mampu dinikmati ‘kaum tua’. Robusta jika diproses sedari hulu dengan benar ternyata mampu memberi kenikmatan yang membuat siapapun berdecak kagum.

Lalu apa yang membuat robusta kerap dianggap kopi pahit yang menyiksa? Mungkin karena para pelaku industri kopi tidak melihat robusta sebagai sesuatu yang potensial. Jadi pengolahannya belum maksimal. Cukup dimengerti karena untuk menciptakan robusta yang benar-benar baik diperlukan uang dan waktu. Jika sudah begini dan tidak ada pasar yang mau menghargai robusta dengan harga tinggi tentu akan merugikan para pelakunya.

Saya percaya kok jika pasar sudah siap dengan fine robusta, pasti akan ada orang-orang yang mendedikasikan dirinya untuk memproses robusta enak. Lalu jika sudah enak tentu asumsi tentang ‘kepahitan robusta’ ini bisa diruntuhkan. Tapi, untuk menuju ke situ prosesnya panjang dan harus melibatkan banyak pihak.

Beberapa tahun lalu saya masih seperti kamu yang menganggap kopi robusta tidak seksi. Sampai secangkir kopi hitam nikmat bernama robusta saya teguk dan rasanya tak ada pahit-pahitnya.

Sejauh ini, kopi robusta dari mana yang jadi favoritmu? Coba kasih tahu karena saya berniat mencoba juga!

Kekeliruan Soal Robusta

September 10, 2020 1 comment

Industri spesialti kopi ‘sekarang’ ini sering menganaktirikan kehadiran robusta. Untuk beberapa kalangan, robusta adalah ‘itik buruk rupa’ yang dipandang sebelah mata.

PADAHAL jauh sebelum industri ini merebak dan di setiap penjuru kota berdiri kedai kopi, robusta pernah berjaya. Dengan rasa yang khas dan kadar kafein yang tinggi robusta pernah jadi primadona. Semua orang mendamba robusta, mencintai pahit dan kuatnya serta tergila-gila pada energi yang dia berikan sesaat setelah teguk.

Industri bergeser, begitu pun kedudukan robusta. Arabika memenuhi setiap panggung karena dianggap flavorful dan memiliki rupa-rupa rasa dan aroma, kafeinnya juga rendah sehingga ‘aman’ dikonsumsi siapa saja. Robusta dianggap ‘anak tiri’, minuman orang-orang ‘dulu’, minuman para tetua, para pekerja kasar yang tak peduli soal rasa dan kualitas.

Padahal mereka tak tahu saja bahwa robusta juga ada kelasnya. Malah ada namanya fine robusta yang merupakan robusta berkualitas tinggi dan ada q-grader-nya juga. Di Viet Nam saya melihat bahwa robusta masih dicintai. Selain dijadikan ca phe sua da, robusta yang kebanyakan datang dari daerah Dalat ini berkualitas baik dengan karakteristik rasa yang tak melulu pahit saja. Mungkin robusta dari Viet Nam adalah salah satu robusta terbaik yang pernah saya coba. Malah diseduh manual pun tetap sedap. Tak sekedar dicampur susu atau ditubruk saja.

Robusta Sidikalang Bubuk Bold
Robusta Sidikalang Bubuk Gold

Robusta bisa juga enak, flavourful, menyenangkan dan dinikmati sama kelasnya dengan arabika hanya saja jika para petani dan mereka yang terlibat dalam prosesnya di hulu tahu bagaimana ‘mengasuhnya’. Pun para roaster juga bisa membantu ‘mengeluarkan’ cita rasa yang tak main-main jika mengenal lebih dalam biji ini.

Kita marilah berhenti menganggap robusta kopi murah dan tak nikmat. Dalam menikmati robusta dibutuhkan pepatah lama tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka nikmat pun turut melayang. Meski umumnya kita temukan di pasar saja, jangan sedih karena kini robusta pun masuk kedai kopi. Tak hanya jadi campuran espresso blend atau ‘kopi susu kekinian’, robusta yang baik pun bisa diseduh dengan ragam cara.

Mari kita memberi kesempatan pada robusta sekali lagi, agar tak arabika saja yang bisa kita nikmati.

Perbedaan antara Light, Medium dan Dark Roast Pada Kopi

September 9, 2020 Leave a comment
Dark Roasting

Sederhananya, beda level roasting maka akan membuat kopi menjadi berbeda rasa pula.

MENGETAHUI macam-macam tingkatan roasting pada kopi sama pentingnya dengan mengetahui single origin apa yang akan kamu beli untuk diseduh nantinya. Tingkatan roasting, cara seduh dan single origin termasuk 3 faktor penting yang akan menentukan seperti apa karakteristik kopi yang akan keluar ketika diseduh. Sebelumnya kami sudah pernah membahas tentang apa yang terjadi ketika proses roasting berlangsung, disini. Dari proses itu jugalah akan ditentukan berikutnya apakah kopinya akan menjadi light, medium, atau dark. Simak macam-macam bedanya berikut ini.

Berbagai Level Roasting

Light roast                                                                              

Untuk mereka yang menyukai kopi dengan tekstur mirip seperti teh dan karakteristik lembut, light roast adalah tingkat sangrai yang cocok. Kamu bisa memeriksa biji kopi yang dibeli untuk mengetahui tingkatannya. Biji kopi yang disangrai secara light umumnya bukan hanya akan terlihat seperti “versi paling muda” dari warna coklat kopi, tapi juga tidak ada kilau minyak yang terlalu kelihatan di permukaan biji kopi.

Semakin lama biji kopi disangrai, maka akan semakin banyak juga minyak yang akan muncul di permukaan biji kopi. Karena biji kopi ‘light roasted’ cenderung disangrai dalam waktu yang tidak lama –dan kadang dalam temperatur rendah, minyak kopi pun belum sempat muncul ke permukaan biji kopinya.

Medium roast

Teksturnya sedikit mirip teh dan setingkat lebih “tanned” dari light roast. Hampir sama seperti light roast, jika melihat biji kopi yang disangrai dalam level ini, maka kita pun tidak akan menemukan minyak kopi yang terlalu kentara pada bijinya. Namun jika kamu mencoba dua kopi seduhan ala manual brew yang masing-masing disangrai dengan light dan medium, maka kamu akan merasakan perbedaannya.

Kopi yang disangrai dalam level medium cenderung memiliki rasa yang lebih intens dibandingkan dengan light, tapi kadarnya tetap tidak sekuat dark roast. Karena ia mampu menghadirkan rasa dan komposisi yang pas, tidak heran kalau level roasting ini pun cukup popular di banyak roaster.  

Medium-dark roast

Selanjutnya dalam spektrum rasa kopi adalah level medium-dark. Ini adalah tingkatan yang akan menghadirkan body lebih heavy dan lebih intens pada kopi. Biji yang disangrai dalam level ini cenderung sudah memiliki tampilan kemilau minyak pada permukaan biji kopi. Ketika diseduh pun rasanya sudah lebih membentuk karakter pahit-manis yang nikmat.

Dark roast and beyond

Kopi-kopi dark roast (dan level di atasnya semacam Italian, Vienna atau French roast), umumnya dilakukan jika kopi tersebut akan ditambahkan lagi dengan campuran susu, gula dan sebagainya menjadi entah cappuccino, latte, flat white dan sebagainya. Jarang sekali kopi seduh manual, alias manual brew, yang menggunakan level sangrai ini. Kopi dark roast pada dasarnya hampir tidak lagi menyimpan karakter apapun selain rasa gosong dan pahit yang hangus. Sekiranya pun ada karakter asli tersisa, itu pun sudah sangat sedikit sekali. Keunggulan kopi dark roasted ini, menurut saya, terlerak pada aromanya yang wangi dan harum begitu diseduh dengan air panas.

Untuk mengenali biji kopi dark roast kita bisa melihat dari biji kopinya. Biasanya kopi yang disangrai dalam level ini terlihat sangat mengkilap karena oil atau minyak (kopi) yang dikandungnya dikeluarkan cukup banyak akibar proses sangrai yang lama. Oh, satu lagi keunggulan kopi level dark roast ini menurut saya adalah.. cantik difoto, untuk Instagram. Lol.

Karakter Roasting Level

Mengetahui jenis-jenis tipe roasting ini, sekali lagi, sangat penting untuk membantu penggemar kopi memilih apa yang mereka sukai dan apa yang akan mereka beli. Tapi yang perlu diingat adalah standar “tingkatan jenis roasting” di berbagai roaster itu berbeda-beda pula. Misalnya, kopi light roast di Roaster A mungkin dikategorikan sebagai light roast, tapi jika dibandingkan dengan light roast di Roaster B bisa saja tekstur dan karakteristiknya sedikit lebih dark. Dan seterusnya.

Perihal dark roasting tentulah topik yang sangat subjektif, pembahasan agak detail mengenainya pernah diposting disini.